
Buranga, Trimediasultra.com – Ekosistem hutan mangrove di Kabupaten Buton Utara (Butur) tercatat mengalami kerusakan mencapai 532 hektare, berdasarkan data terbaru yang dipaparkan dalam Lokakarya Penyusunan Rencana Aksi Pengelolaan Ekosistem Mangrove yang digelar di Aula Hotel Saraea, Kecamatan Kulisusu, Kamis, 20 November 2025.
Dari total kerusakan tersebut, 386 hektare berada dalam kawasan hutan, sementara 146 hektare sisanya berada di luar kawasan. Kerusakan dipicu oleh aktivitas manusia yang tidak terkendali, tekanan lingkungan, serta sejumlah faktor alam yang terus mengancam keberlanjutan ekosistem pesisir di wilayah itu.
Kegiatan yang diselenggarakan oleh Kelompok Kerja Manggrove Daerah (KKMD) Provinsi Sulawesi Tenggara (sultra) dibuka secara resmi oleh Wakil Bupati Buton Utara, Rahman, SKM., M. Kes.
Kegiatan ini dihadiri beberapa perwakilan dari Balai Kehutanan Wilayah 2 Provinsi Sultra, Asisten I Setda Buton Utara Mansyur, para Kepala OPD, Ketua KKMD Provinsi Sulawesi Tenggara, Camat Kulisusu Barat, Camat Kulisusu Utara, Camat Bonegunu dan tokoh masyarakat.
Dalam sambutannya, Wakil Bupati Butur, Rahman menyampaikan mangrove merupakan salah satu ekosistem paling penting dengan fungsi ekologis dan sosial ekonomi yang tidak dapat dipisahkan. Selain menjadi benteng alami pencegah abrasi dan habitat bagi berbagai jenis biota laut, mangrove juga memiliki kemampuan penyerapan karbon yang tinggi sehingga berperan dalam mitigasi perubahan iklim.

Melansir Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 594 Tahun 2025 tentang Peta Mangrove Nasional Tahun 2024, Kabupaten Buton Utara memiliki kawasan mangrove eksisting seluas 14.481 hektare, atau 22,23 persen dari total mangrove di Sulawesi Tenggara yang mencapai 65.141 hektare. Dari jumlah tersebut, 12.750 hektare berada dalam kawasan hutan lindung dan 1.731 hektare berada di luar kawasan.
Pemerintah daerah menilai luasan tersebut merupakan potensi besar yang dapat dikembangkan secara berkelanjutan, baik untuk ekowisata, perikanan, maupun industri kreatif berbasis mangrove. Namun, potensi itu menghadapi ancaman serius akibat tingginya laju kerusakan.
“Kerusakan ini bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga berpotensi mengancam kehidupan dan kesejahteraan masyarakat pesisir jika tidak ditangani segera,” ujar Rahman.
Lokakarya ini digelar sebagai langkah awal penyusunan strategi dan rencana aksi pengelolaan mangrove secara terpadu. Pemerintah daerah menekankan pentingnya keterlibatan seluruh pemangku kepentingan, pemerintah, akademisi, masyarakat, dan sektor usaha untuk memulihkan dan menjaga keberlanjutan ekosistem mangrove di Buton Utara,” tutupnya. (AdmM2) .



